“Tuanku” – Ayu Welirang

Kerja di BSD memang tak ada bedanya dengan Jakarta, malah lebih parah. Tempat makan siang mahal, kalau ada yang murah pun, jauh tempatnya. Jadi, sebagai pekerja IT yang tidak libur walau pandemi, Lulu tak mampu protes walau harus makan makanan siap santap dan cukup dipanaskan lewat gelombang mikro. Harga paket makannya cukup ditebus dengan dua puluh ribu saja, ditambah kopi sepuluh ribu. Tempat belinya juga dekat, tinggal ke basement.

Seperti kemarin-kemarin, Lulu masih makan “benda” yang sama: nasi katsu dengan bumbu yang sekenanya. Masa bodoh lah mau makan apa, yang penting bisa ngopi.  Baru saja hendak membayar, tetangga indekos yang juga kerja di gedung yang sama —walau perusahaannya berbeda, menyapa Lulu. 

“Semalam di kosan lu ada siapa dah?” tanya temannya, Chica.

“Hah? Siapa? Nggak ada siapa-siapa kayaknya,” jawab Lulu sembari mengeluarkan tiga lembar uang sepuluhribuan untuk membayar. Seperti biasa, Lulu tersenyum sambil memperhatikan kasir yang wajahnya mirip Dean Fujioka versi muda. Enak juga jadi jomblo, bisa ngeceng seharian.

Chica yang tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendekat dan berbisik, “Gue denger ada suara cowok gitu, terus ada suara melenguh gitu. Ngapain coba lu? Bawa cowok ya ke dalam kos?!”

Lulu mengernyit bingung. “Berak lu! Enggak deh kayaknya. Masa sih? Lu salah dengar kali, bukan dari kamar kos gua.”

Kedua cewek yang berbisik-bisik itu mengundang rasa penasaran si kasir. Lulu meliriknya sekilas dan senyum lagi—senyum paling manisnya. Si kasir berwajah nippon itu pun balas tersenyum, meskipun Lulu tahu betul itu sekadar senyum protokoler seorang pramuniaga.

“Jangan-jangan, itu stalker? Atau, penghuni indekos cowok di lantai satu yang cari mati sama penghuni cewek. Gue rasa, lu harus hati-hati deh, kalau perlu kunci selot sekalian kamar lu,” saran Chica.

Setelah membeli makan, keduanya menaiki tangga dari basement menuju lobi kantor, untuk setelahnya berpisah di pintu elevator yang berbeda. Sembari melangkah pelan, Chica kembali mengingatkan, “Lebih baik cek-cek aja. Di lantai satu itu kayaknya banyak fakboi.”

Fakboi kayak gimana? Memangnya Chica pernah kenalan dengan cowok-cowok lantai satu? Pikir Lulu.

***

Pukul delapan malam, Lulu pulang. Jalan menuju indekosnya di kawasan Anggrek Loka agak sepi. Sebelum masuk gang indekos, Lulu menyempatkan diri untuk membeli makan di area ruko dekat situ, supaya nanti tidak perlu pesan antar dan menghamburkan ongkos kirim. 

Selain berhemat, dia juga malas kalau harus berinteraksi dengan orang. Belum lagi kalau turun dari lantai dua ke lantai satu, pasti akan ada banyak cowok kosan situ yang nongkrong di dekat gerbang masuk, main gitar, merokok, atau lagi ngomongin hal-hal yang membuat Lulu risih. Lulu yang socially awkward merasa lebih baik menghindar.

Lulu bergegas menuju indekosnya setelah urusan makanan rampung. Ia baru ingat kalau hari ini harus menamatkan games favoritnya; sebuah otome yang tengah digandrungi. Pemainnya bisa memilih mau jadi siapa, diperhatikan siapa, dan berakhir bagaimana. Lulu tentu saja senang main otome. Ia pikir, cowok-cowok dua dimensi lebih bisa memberikan apa yang Lulu mau, tidak seperti cowok tiga dimensi.

Sesampainya di indekos, Lulu buru-buru naik dan menuju kamarnya di pojok, yang bersebelahan dengan kamar Chica. Tanpa memikirkan apakah si empu kamar sebelahnya sudah pulang atau belum, Lulu langsung masuk. Urusannya malam itu sangat mendesak.

***

Setelah cuci muka seadanya dan berganti pakaian, Lulu mulai membuka halaman games yang ia beli seharga lima ratus ribu dari layanan repository permainan jorok. Terima kasih kepada VPN kantor yang berjasa dalam mengakses situs ini. Bodo amat kalau ternyata ada log yang tertinggal dan memunculkan halaman URL-nya. Toh, pemakai VPN kantornya diatur anonim.

Permainan itu memunculkan lelaki berambut panjang dengan mata runcing dan pewarna mata ungu. Ia Sebastian Michaelis, salah satu tokoh dalam anime favorit Lulu yang bercerita tentang utusan setan: black butler tampan yang bisa mengabulkan permintaan jahatmu.

Sebastian Michaelis menyapa, “Selamat malam, Budakku.”

Hati Lulu mencelus. Matanya berbinar-binar. Kemarin, dia baru saja menamatkan bagian Sebastian Michaelis sedang striptease. Lulu merogoh koceknya dalam-dalam hanya untuk membeli add-on itu. Hari ini, ia harus segera menyelesaikan bagian lain supaya waktu pembeliannya tidak hangus.

Sembari main, Lulu mulai memainkan tubuhnya. Ditatapnya wajah Sebastian Michaelis pada layar, juga pada poster yang ditempel di kamarnya. Suara Sebastian Michaelis semakin menggoda. Lulu semakin semangat. Ia sudah basah.

***

Malam itu, Sebastian Michaelis datang. Setengah sadar, Lulu menemukan mata runcingnya di sisi ranjang. 

“Malam, Budakku…”

Lulu hampir berteriak, tapi segera diurungkannya. Ia lebih memilih menghabiskan malam dengan lelaki tampan itu. Rambutnya hitam dan bergelombang, matanya sayu tetapi menggoda. Lulu mengangkat tangan dan mengelus pipi kiri Si Kuroshitsuji itu.

“Kamu ngapain ke sini?”

“Aku merindukan budakku.”

Lulu tersenyum senang sembari menatap mata runcing itu lama sekali. Perlahan, Sebastian Michaelis mendekatkan wajahnya dan mencumbu Lulu, ciuman lembut yang berakhir dengan membabi-buta.

Lulu kembali tersesat. Ia melenguh, begitu pun Sebastian. Lulu sudah tak ingat berapa kali ia orgasme malam itu. Sekitar pukul tiga pagi, mata Lulu kembali meredup. Ngantuk sekali. Sebastian Michaelis mengelus pucuk kepala Lulu dengan lembut dan memeluk gadis itu hingga tertidur. 

***

Pagi-pagi sekali, saat hendak menjemur handuk setelah mandi, Lulu berpapasan dengan Chica yang juga baru selesai mencuci.

“Lu semalam sama siapa lagi sih? Gila ih, kalau ketahuan ibu kos bahaya tau!” seru Chica pelan-pelan sambil menepuk lengan Lulu.

Lulu hanya senyam-senyum. Sambil malu-malu, ia berbisik, “Semalam itu… Ada lah pokoknya.”

“Gila ih lu! Wah, Bastian siapa sih? Pacar baru ya? Nggak bilang-bilang deh,”  balas Chica lagi.

Lulu hanya tersipu. Ia malas cerita soal Sebastian Michaelis, tuan bagi kehambaannya. Bagaimana jadinya kalau Chica tahu bahwa cowok itu datang menjelang tengah malam, mencintai Lulu sedemikian rupa sebelum akhirnya pagi-pagi sudah hilang dan meninggalkan Lulu memeluk dirinya sendiri?

Mungkin Chica hanya akan berpikir, “Ah! Dia mah berarti cuma fakboi kayak yang lainnya!”

TENTANG PENULIS

Ayu Welirang, seorang penulis fiksi kriminal yang “nyambi” jadi pekerja IT. Tengah membereskan novel tentang pembakar berantai sembari menguping musik-musik Okuda Tamio. Ia dapat disapa lewat halo(at)ayuwelirang(dot)com, atau twitter dan instagram di @ayuwelirang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s