“Ada yang Mengamat-amati Kau di Tengah Gulita” – Ayu Welirang

Empat jam lagi, Okinawa akan diledakkan.

Kau tahu itu. Berita pengosongan area sekitar Okinawa santer terdengar sejak minggu lalu. Pihak militer Amerika yang memegang radio lokal telah berkali-kali memberitakan. Warga wajib melaporkan identitas pada pemeriksa di Pangkalan Udara Kadena. Meskipun Jepang merdeka pada April 1952, Okinawa masih sama. Pulau ini tetap jadi daerah pegangan Amerika. Sejak kekalahan pada Perang Dunia II—sampai kau tengah mengukus ubi jalar saat ini—kau tetap bercokol di provinsi darurat militer.

Kau bagikan kukusan ubi pada teman-temanmu yang telah siap dengan ikat kepala, bendera-bendera, juga baliho propaganda. Kau hanya tersenyum, sebab kau menyadari bahwa kebebasan membela negara sesungguhnya masih ada dalam diri teman-temanmu. Apa jadinya kalau teman-temanmu tahu kau hanya provokator titipan?

Tiga jam lagi, militer udara Amerika akan melancarkan agresi.

Para demonstran masih duduk melingkar di sebuah universitas swasta. Di sana, kau akan bertemu kawan solidaritas lain yang juga telah mantap memprotes pemerintahan Okinawa. Mereka berbondong-bondong menuju pangkalan udara. Mereka akan menginap di sana, kalau perlu sampai beranak-pinak. Mereka tak berniat pergi sebelum kedua pihak berhasil mencapai mufakat.

Beberapa posko mulai terbangun di sekitar pangkalan udara. Dari kejauhan, kau dapat melihat teman-temanmu lainnya dalam kubu polisi Okinawa. Tentu saja mereka menawarkan diri untuk jadi brigade kepolisian. Sementara itu, teman-temanmu yang sudah lama ikut shin-sayoku berada di seberang brigade. Kau dapat melihat teman di brigade merasa jijik dengan apa yang kau lakukan, walau ya itu tadi: mereka tak tahu kau dibayar untuk ada di sana.

Selagi brigade kepolisian yang penuh relawan mahasiswa bersiap membangun pagar martir, pendemo mulai menyiapkan baliho propaganda. Intinya jelas, warga Okinawa ingin peralihan. Okinawa harus kembali diasuh Jepang, Amerika tak berhak ongkang-ongkang kaki di sini.

Kau meminta teman-temanmu bersiap. Kau menyuruh mereka menerjang. Jika pagar martir tak bisa ditembus, maka pendemo harus menembus. Tugasmu sudah selesai. Kau hanya perlu memanas-manasi. Walau tak tega, kau cukup peduli pada nyawa sendiri. Pasalnya, ada yang mengamat-amati dirimu. Kau kenal matanya, kau kenal uangnya.

Satu jam lagi, Okinawa betulan akan hancur-lebur, padahal New Left (shin-sayoku) dengan brigade Okinawa tengah berperang melawan kaum sendiri.

Kau ingin tertawa, sungguh. Rasanya asing melihat teman-temanmu satu kampus saling membunuh. Padahal, semua sama-sama warga Okinawa. Kau tak mengerti idealisme mereka. Sebab kau hanya tahu bahwa untuk hidup kau butuh makan. Untuk makan, kau membutuhkan kantong penuh uang sehingga tak kekurangan. Pikiranmu hanya itu saja isinya, sebab kau telah lama menjual jiwamu pada iblis yang kini mengamatimu dengan wajah memerah, mata melotot, dan seringai menyeramkan.

Tiga puluh menit lagi, Okinawa akan hilang.

Kau memutuskan untuk pergi dari sana, meninggalkan baku hantam yang mulai memanas. Meninggalkan ransum ubi jalar yang telah kau kukus untuk teman-temanmu. Kau meninggalkan barisan mahasiswi pendemo, di mana ada salah satu yang tengah hamil. Juga kau tinggalkan temanmu, para mahasiswa yang tengah bernyanyi yel-yel shin-sayoku dengan bangga. 

Di tengah gempuran brigade Okinawa yang juga adalah temanmu (walau berbeda kubu), kau melesat menuju flat-mu. Kau hendak mengambil kopermu dan menghilang dari sana. Kau tidak ingin ada di Okinawa, pun di Jepang kalau uangmu masih cukup. Kau perlu bebas dengan identitas baru.

Lima menit lagi, pesawat militer Amerika mulai mengebom.

Kau telah sampai di flat-mu, buru-buru menuju lantai dua tempat kamarmu berada. Kau ambil koper yang telah kau siapkan malam sebelumnya, juga kau ambil semua buku tabungan untukmu hidup.

Tiga menit lagi, Okinawa hancur tak bersisa.

Kau sudah di bus kota. Satu-satunya bus yang beroperasi sudah penuh. Kau tetap ikut, meski tak bisa duduk. Bus itu berisi warga Okinawa yang sudah tidak mau peduli dengan kota kelahirannya. Kau tunjukkan identitasmu yang telah kau siapkan sebelumnya, yang telah dimarkah lolos. Kau bukan anggota shin-sayoku, juga tidak mengancam keamanan negara. Kau boleh pergi dari Okinawa beserta para pengungsi lainnya—atau mungkin calon perantau?

Bus menuju pelabuhan. Kau akan menyeberang ke Jepang yang lebih ramah, lebih memiliki masa depan. Di Okinawa, orang tak bisa hidup lebih lama. Okinawa memang ditakdirkan untuk hancur, baru kemudian kepulauan itu bisa benar-benar kembali menata dirinya.

Suara ledakan kecil terdengar. Kapal yang ditumpangi busmu menuju Jepang daratan bergoyang.

Kau tak menatap lagi Okinawa, meski penumpang lain melakukannya. Kau ingin melupakan eksistensimu sebagai bocah Okinawa.

Suara anak-anak memecah lamunanmu. “Tuan baik-baik saja?”

Kau paksa dirimu tersenyum dan membalas sapaannya. Sebuah kartu pos bergambar kuil di Okinawa diberikan kepadamu.

Tangismu hampir pecah, tepat saat ledakan terakhir membumihanguskan Okinawa.  

***

Sensei! Ninagawa-sensei! Bagaimana naskahnya?” tanya seseorang.

“A… Apa?”

“Naskah, Sensei! Sejak tadi aku menunggumu. Ini sudah tenggat. Kau bahkan tampak belum ingin membereskannya?”

“Oh ya. Sebentar, sedikit lagi. Aku masih di bagian pengeboman.”

“Apa? Jadi, adegannya masih pengeboman lagi? Kalau begini terus, sepertinya komikmu berada di peringkat bawah sesuai survei pembaca nanti,” ujarnya lagi.

“Ah ya sudah, jadi aku harus berbuat apa dong, wahai editorku?”

“Gambar saja pokoknya, yang bagus!”

Ah… Memang sulit mau jadi mangaka yang bebas.

Tentang Penulis

Ayu Welirang seorang penulis fiksi kriminal yang “nyambi” jadi pekerja IT. Tengah membereskan novel tentang pembakar berantai sembari menguping musik-musik Okuda Tamio. Ia dapat disapa lewat halo(at)ayuwelirang(dot)com, atau twitter dan instagram di @ayuwelirang.

“Tuanku” – Ayu Welirang

Kerja di BSD memang tak ada bedanya dengan Jakarta, malah lebih parah. Tempat makan siang mahal, kalau ada yang murah pun, jauh tempatnya. Jadi, sebagai pekerja IT yang tidak libur walau pandemi, Lulu tak mampu protes walau harus makan makanan siap santap dan cukup dipanaskan lewat gelombang mikro. Harga paket makannya cukup ditebus dengan dua puluh ribu saja, ditambah kopi sepuluh ribu. Tempat belinya juga dekat, tinggal ke basement.

Seperti kemarin-kemarin, Lulu masih makan “benda” yang sama: nasi katsu dengan bumbu yang sekenanya. Masa bodoh lah mau makan apa, yang penting bisa ngopi.  Baru saja hendak membayar, tetangga indekos yang juga kerja di gedung yang sama —walau perusahaannya berbeda, menyapa Lulu. 

“Semalam di kosan lu ada siapa dah?” tanya temannya, Chica.

“Hah? Siapa? Nggak ada siapa-siapa kayaknya,” jawab Lulu sembari mengeluarkan tiga lembar uang sepuluhribuan untuk membayar. Seperti biasa, Lulu tersenyum sambil memperhatikan kasir yang wajahnya mirip Dean Fujioka versi muda. Enak juga jadi jomblo, bisa ngeceng seharian.

Chica yang tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendekat dan berbisik, “Gue denger ada suara cowok gitu, terus ada suara melenguh gitu. Ngapain coba lu? Bawa cowok ya ke dalam kos?!”

Lulu mengernyit bingung. “Berak lu! Enggak deh kayaknya. Masa sih? Lu salah dengar kali, bukan dari kamar kos gua.”

Kedua cewek yang berbisik-bisik itu mengundang rasa penasaran si kasir. Lulu meliriknya sekilas dan senyum lagi—senyum paling manisnya. Si kasir berwajah nippon itu pun balas tersenyum, meskipun Lulu tahu betul itu sekadar senyum protokoler seorang pramuniaga.

“Jangan-jangan, itu stalker? Atau, penghuni indekos cowok di lantai satu yang cari mati sama penghuni cewek. Gue rasa, lu harus hati-hati deh, kalau perlu kunci selot sekalian kamar lu,” saran Chica.

Setelah membeli makan, keduanya menaiki tangga dari basement menuju lobi kantor, untuk setelahnya berpisah di pintu elevator yang berbeda. Sembari melangkah pelan, Chica kembali mengingatkan, “Lebih baik cek-cek aja. Di lantai satu itu kayaknya banyak fakboi.”

Fakboi kayak gimana? Memangnya Chica pernah kenalan dengan cowok-cowok lantai satu? Pikir Lulu.

***

Pukul delapan malam, Lulu pulang. Jalan menuju indekosnya di kawasan Anggrek Loka agak sepi. Sebelum masuk gang indekos, Lulu menyempatkan diri untuk membeli makan di area ruko dekat situ, supaya nanti tidak perlu pesan antar dan menghamburkan ongkos kirim. 

Selain berhemat, dia juga malas kalau harus berinteraksi dengan orang. Belum lagi kalau turun dari lantai dua ke lantai satu, pasti akan ada banyak cowok kosan situ yang nongkrong di dekat gerbang masuk, main gitar, merokok, atau lagi ngomongin hal-hal yang membuat Lulu risih. Lulu yang socially awkward merasa lebih baik menghindar.

Lulu bergegas menuju indekosnya setelah urusan makanan rampung. Ia baru ingat kalau hari ini harus menamatkan games favoritnya; sebuah otome yang tengah digandrungi. Pemainnya bisa memilih mau jadi siapa, diperhatikan siapa, dan berakhir bagaimana. Lulu tentu saja senang main otome. Ia pikir, cowok-cowok dua dimensi lebih bisa memberikan apa yang Lulu mau, tidak seperti cowok tiga dimensi.

Sesampainya di indekos, Lulu buru-buru naik dan menuju kamarnya di pojok, yang bersebelahan dengan kamar Chica. Tanpa memikirkan apakah si empu kamar sebelahnya sudah pulang atau belum, Lulu langsung masuk. Urusannya malam itu sangat mendesak.

***

Setelah cuci muka seadanya dan berganti pakaian, Lulu mulai membuka halaman games yang ia beli seharga lima ratus ribu dari layanan repository permainan jorok. Terima kasih kepada VPN kantor yang berjasa dalam mengakses situs ini. Bodo amat kalau ternyata ada log yang tertinggal dan memunculkan halaman URL-nya. Toh, pemakai VPN kantornya diatur anonim.

Permainan itu memunculkan lelaki berambut panjang dengan mata runcing dan pewarna mata ungu. Ia Sebastian Michaelis, salah satu tokoh dalam anime favorit Lulu yang bercerita tentang utusan setan: black butler tampan yang bisa mengabulkan permintaan jahatmu.

Sebastian Michaelis menyapa, “Selamat malam, Budakku.”

Hati Lulu mencelus. Matanya berbinar-binar. Kemarin, dia baru saja menamatkan bagian Sebastian Michaelis sedang striptease. Lulu merogoh koceknya dalam-dalam hanya untuk membeli add-on itu. Hari ini, ia harus segera menyelesaikan bagian lain supaya waktu pembeliannya tidak hangus.

Sembari main, Lulu mulai memainkan tubuhnya. Ditatapnya wajah Sebastian Michaelis pada layar, juga pada poster yang ditempel di kamarnya. Suara Sebastian Michaelis semakin menggoda. Lulu semakin semangat. Ia sudah basah.

***

Malam itu, Sebastian Michaelis datang. Setengah sadar, Lulu menemukan mata runcingnya di sisi ranjang. 

“Malam, Budakku…”

Lulu hampir berteriak, tapi segera diurungkannya. Ia lebih memilih menghabiskan malam dengan lelaki tampan itu. Rambutnya hitam dan bergelombang, matanya sayu tetapi menggoda. Lulu mengangkat tangan dan mengelus pipi kiri Si Kuroshitsuji itu.

“Kamu ngapain ke sini?”

“Aku merindukan budakku.”

Lulu tersenyum senang sembari menatap mata runcing itu lama sekali. Perlahan, Sebastian Michaelis mendekatkan wajahnya dan mencumbu Lulu, ciuman lembut yang berakhir dengan membabi-buta.

Lulu kembali tersesat. Ia melenguh, begitu pun Sebastian. Lulu sudah tak ingat berapa kali ia orgasme malam itu. Sekitar pukul tiga pagi, mata Lulu kembali meredup. Ngantuk sekali. Sebastian Michaelis mengelus pucuk kepala Lulu dengan lembut dan memeluk gadis itu hingga tertidur. 

***

Pagi-pagi sekali, saat hendak menjemur handuk setelah mandi, Lulu berpapasan dengan Chica yang juga baru selesai mencuci.

“Lu semalam sama siapa lagi sih? Gila ih, kalau ketahuan ibu kos bahaya tau!” seru Chica pelan-pelan sambil menepuk lengan Lulu.

Lulu hanya senyam-senyum. Sambil malu-malu, ia berbisik, “Semalam itu… Ada lah pokoknya.”

“Gila ih lu! Wah, Bastian siapa sih? Pacar baru ya? Nggak bilang-bilang deh,”  balas Chica lagi.

Lulu hanya tersipu. Ia malas cerita soal Sebastian Michaelis, tuan bagi kehambaannya. Bagaimana jadinya kalau Chica tahu bahwa cowok itu datang menjelang tengah malam, mencintai Lulu sedemikian rupa sebelum akhirnya pagi-pagi sudah hilang dan meninggalkan Lulu memeluk dirinya sendiri?

Mungkin Chica hanya akan berpikir, “Ah! Dia mah berarti cuma fakboi kayak yang lainnya!”

TENTANG PENULIS

Ayu Welirang, seorang penulis fiksi kriminal yang “nyambi” jadi pekerja IT. Tengah membereskan novel tentang pembakar berantai sembari menguping musik-musik Okuda Tamio. Ia dapat disapa lewat halo(at)ayuwelirang(dot)com, atau twitter dan instagram di @ayuwelirang.